FORMULA PENGUMPUL KEKAYAAN

Selasa, 12 Januari 2010

ANALISIS BEHAVIORISME TERHADAP LIMA PRINSIP METODE AUDIOLINGUAL

ANALISIS BEHAVIORISME TERHADAP LIMA PRINSIP METODE AUDIOLINGUAL

BAB I
PENDAHULUAN
Behaviorisme dalam psikologi merupakan suatu aliran empiris. Pandangan mereka tentang bahasa pun merupakan pandangan empiris. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “bahasa merupakan salah satu wujud tingkah laku manusia yang dinyatakan secara verbal atau dengan kata-kata”. Jadi, dengan kata lain bahasa merupakan wujud perilaku manusia yang dapat ditangkap oleh pancaindra.
Pandangan empiris berpendapat bahwa semua keterampilan manusia diperoleh dengan proses belajar. Dan manusia sejak lahir telah mengalami proses belajar. Ini mengisyratkan bahwa bahasa harus dipelajari. Kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar dan bukan diwariskan.
Sebuah metode yang muncul pada tahun 50-an dan 60-an yaitu metode audiolingual sebagai respon bagi dua hal yang penting pada saat itu, yaitu pertama, studi bahasa yang dilakukan oleh ahli jiwa dan ahli bahasa terhadap bahasa-bahasa lisan Hindia di wilayah Amerika Serikat. Kedua, perkembangan sarana komunikasi antarbangsa yang bisa mendekatkan jarak antarmereka dan adanya kebutuhan mempelajari bahasa asing tidak hanya digunakan untuk membaca tapi juga untuk komunikasi langsung antarmereka.
Makalah ini akan membahas dan menganalisis secara singkat sejarah dan prinsip-prinsip yang digunakan metode audiolingual dalam pembelajaran bahasa. Semoga bermanfaat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah munculnya metode audiolingual
Metode membaca yang lebih menekankan pada kemampuan membaca teks ternyata tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun empat puluhan. Dalam situasi perang dunia kedua, Amerika Serikat memerlukan orang-orang (tentara) yang lancar berbahasa asing untuk ditempatkan di berbagai negara. Untuk itu Departemen Pertahanan AS membetuk badan yang dinamakan Army Specialized Training Program (ASTP) dengan melibatkan 55 universitas
Program ini dimulai pada tahun 1943 dan bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing dengan pendekatan dan metode pelatihan yang baru. Pengajar bahasa asing model ASTP yang bersifat intensif dianggap berhasil. Oleh karena itu, sejumlah ahli linguistik yakin bahwa ASTP ini layak diterapkan secara umum di luar program ketentaraan. Model ASTP inilah yang merupakan cikal bakal dari metode audio-lingual, setelah dikembangkan dan diberi alasan metodologis oleh beberapa universitas terutama Universitas Michigan AS. Pada waktu yang sama di Inggris juga dikembangkan oral-approach yang mirip sekali dengan metode yang sedang berkembang di Amerika.
Metode audiolingual didasarkan atas teori linguistik struktural, yang dalam beberapa hal berbeda dengan teori tata bahasa tradisional. Jika tata bahasa tradisional menekankan kesemestaan tata bahasa, maka linguistik sturktural menekankan pada fakta bahwa semua bahasa di dunia ini berbeda. Teori tata bahsa tradisional bersifat preskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang digunakan oleh penutur asli dan bukan yang dikatakan oleh ahli bahasa. Teori tata bahasa tradisional mengkaji bahasa dari ragam formal (ragam sastra dan sejenisnya), sedangkan teori tata bahasa struktural mengkaji bahasa dari ragam informal yang digunakan oleh penutur asli dalam interaksi sehari-hari.
B.Prinsip-prinsip metode audiolingual
William G. Moulton dalam artikelnya yang berjudul “Linguistics dan Language Teaching in The United States 1940-1960” menyebutkan lima prinsip yang digunakan dalam metode audiolingual yaitu :
1.Bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan .
Prinsip ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari definisi bahasa sebagai arus ujaran manusia yang bermakna atau bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol yang bermakna. Setiap komunitas mempunyai bahasa walaupun mungkin mereka belum mengenal sistem aksara. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa yang utama adalah pembelajaran bahasa lisan, baru kemudian bahasa tulis. Sedangkan urutannya adalah mengajarkan mendengar, diikuti berbicara, baru kemudian membaca dan menulis.
Setiap ujaran bahasa yang terdiri dari bunyi dapat ditangkap oleh panca indera dan dianalisis. Oleh karena itu, satuan-satuan bahasa selalu didefinisikan dengan bunyi , misalnya, “fonem adalah satuan bunyi yang terkecil yang bersifat distingtif/membedakan makna” dan seterusnya.
Bagi para guru bahasa, pendirian dan prinsip kaum empiris dalam pembelajaran bahasa agak mencengangkan karena belajar bahasa adalah sekaligus belajar membaca dan menulis. Memang benar anak-anak sudah dapat berbicara tanpa mengenal aksara lebih dahulu. Akan tetapi, pernyataan dan prinsip ini tidak perlu merisaukan para guru bahasa. Pembelajaran bahasa pada awalnya adalah pembelajaran mendengar dan berbicara. Membaca dan menulis menjadi langkah kedua dalam pembelajaran bahasa.
2.Bahasa adalah seperangkat kebiasaan.
Kaum linguis deskriptif-struktural berpendapat bahwa bahasa adalah seperangkat kebiasaan yang diperoleh dari pengondisian. Dengan kata lain, kemahiran bahasa kita peroleh melalui habits formation atau pembentukan kebiasaan. Kebiasaan di sini dimaknai dalam pengertian yang sempit. L. Bloomfield melukiskan tentang pemerolehan bahasa bayi yang menurutnya melaui lima tahapan, yaitu pertama, seorang bayi mulai berceloteh karena berceloteh merupakan kebiasaan yang terwarisi. Ia memperoleh kebiasaan dengan mengulang-ulang apa yang didengarnya, misalnya ia memperoleh kemampuan untuk mengulang kata da-da-da daripada hanya mengucapkan da. Kedua, anak memperoleh kemampuan untuk meniru ujaran ibunya atau orang yang dekat dengannya. Ketiga, anak membentuk suatu kebiasaan. Kehadiran suatu benda seperti boneka misalnya, sudah mengondisikannya untuk mengujarkan sesuatu. Keempat, anak memperoleh kesempatan untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ada. Kelima, bahasa anak disempurnakan oleh hasil yang dia peroleh atau ganjaran yang diperolehnya.
Seorang anak atau seorang pembicara akan selalu sadar tentang apa yang dikatakannya, tetapu ia tidak sadar akan bagaimana ia mengatakan sesuatu, ia tidak menyadari mekanisme ujaran. Ia memperoleh satu kebiasaan. Ada adagium “kapan saja seseorang berbicara, maka ia melakukan peniruan dan penganalogian” terhadap bentuk-bentuk yang telah ia dengar dan baca. Adagium ini manjadi dasar pembelajaran bahasa dengan teknik peniruan dan pendarasan, yang dikenal dengan pattern drill atau tadribat dalam bahasa arab.
3.Ajarkanlah bahasa bukan tentang bahasa.
Pembelajaran bahasa model klasik biasanya dimulai dengan pengajaran tata bahasa. Pembelajaran seperti ini menghasilkan para siswa yang mampu menghafalkan kaidah-kaidah bahasa dan merumuskan konsep-konsep tentang bahasa Arab misalnya, tetapi mereka tidak mampu berbicara dan berkomunikasi secara wajar dengan bahsa Arab tersebut. Karena tujuan pembelajaran bahasa adalah agar siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya, maka lahirlah slogan atau semboyan di atas.
Pernyataan di atas memang wajar, karena seseorang mampu berbahasa dengan cara meniru dan membuat analogi berdasarkan pengalaman empiris. Seorang penutur Arab sangat mungkin tidak bisa menjelaskan secara detail tentang tata aturan bahasanya, tetapi dia mampu menggunakan bahasa Arab secara benar dan wajar. Dengan demikian, sangat wajar dalam pembelajaran bahasa Arab misalnya, perlu ditekankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan bukan pembelajaran tentang kaidah-kaidah bahasa secara berlebihan.
4.Bahasa adalah apa yang dituturkan oleh penutur asli bahasa tersebut bukan apa yang dipikirkan seseorang untuk dituturkan oleh siswa.
Pernyataan ini menyerang ketaatan yang berlebihan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan dan bertentangan dengan konsep kegramatikaan bahasa. Sebagai contoh, para guru bahasa Arab klasik adalah mereka yang sangat taat kepada qawa’id bahasa Arab. Mereka bersifat preskriptif. Sementara Bloomfield menyatakan bahwa dia kurang menerima anggapan bahwa secara formal bahasa yang diajarkan di sekolah adalah “lebih benar” daripada bahasa yang digunakan dalam komuniksai sehari-hari. Dari prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan empiris menganggap bahwa ucapan penutur asli bahasa Arab tidak pernah salah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahsa Arab diusahakan peniruan atau penyalinan ujaran penutur asli, tidak peduli apakah ujaran itu cocok dengan tata bahasa di sekoah atau tidak. Dikaitkan dengan ragam bahasa Arab yang terdiri dari bahasa Arab standar (fusha) dan bahasa Arab amiyah, maka pembelajaran bahasa Arab di sekolah juga perlu memperhatikan ragam bahasa Arab yang kedua.
5.Bahasa-bahasa itu berbeda.
Seperti diketahui bahwa linguistik deskriptif-struktural memperlakukan setiap bahasa secara otonom. Ini berarti analisis terhadap bahasa Arab harus dilakukan berdasarkan bahasa Arab itu sendiri dan tidak meniru tata bahasa lain. Dalam pembelajaran bahasa Arab seorang siswa harus melupakan bahasa yang telah dikuasainya. Materi kebahasaan harus disusun dengan lebih menekankan pada butir-butir bahasa yang diperkirakan akan menimbulkan interferensi dan transfer dari bahasa yang dikuasainya kepada bahasa yang sedang dipelajari. Latihan dalam bentuk drill perlu ditekankan pada butir-butir bahasa Arab yang kemungkinan menimbulkan kesalahan agar siswa membiasakan dengan pola dan struktur bahasa Arab.
Pandangan para empiris tentang pmbelajaran bahasa seperti di atas diungkapkan dengan slogan yang ekstrem oleh penganutnya. Pandangan yang ekstrem ini didasarkan pada pengalaman mereka dalam pendidikan bahasa di Eropa dan Amerika yang selalu mengutamakan bahasa Yunani dan Latin sebagai model bahasa dunia yang lengkap dan sempurna. Butir-butir bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Latin dan Yunani dianggap primitif.
Para pendidik bahasa Indonesia pun tidak luput dari model pengajaran bahasa yang berkembang di Eropa. Di Eropa, setiap sekolah bahasa harus mendapatkan pengajaran bahasa Latin di Yunani. Dengan model yang sama itu, di Indonesia khususnya di Fakultas sastra, model bahasa klasik yang dipilih adalah bahasa Sanskrit, Jawa Kuno dan Arab. Para penulis tata bahasa Indonesia pun selalu mengikuti model bahasa Latin dan Yunani secara tidak langsung, yakni melaui bahasa Belanda kemudian bahasa Inggris.


BAB III
KESIMPULAN
Metode membaca yang lebih menekankan pada kemampuan membaca teks ternyata tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun empat puluhan. Dalam situasi perang dunia kedua, Amerika Serikat memerlukan orang-orang (tentara) yang lancar berbahasa asing untuk ditempatkan di berbagai negara. Untuk itu Departemen Pertahanan AS membetuk badan yang dinamakan Army Specialized Training Program (ASTP) dengan melibatkan 55 universitas.
Program ini dimulai pada tahun 1943 dan bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing dengan pendekatan dan metode pelatihan yang baru. Metode audiolingual didasarkan atas teori linguistik struktural, yang dalam beberapa hal berbeda dengan teori tata bahasa tradisional.
Ada lima prinsip yang digunakan metode audiolingual dalam pembelajaran bahasa. Pertama, bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan. Kedua, bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Ketiga, ajarkanlah bahasa bukan tentang bahasa. Keempat, bahasa adalah apa yang dituturkan oleh penutur asli bahasa tersebut bukan apa yang dipikirkan seseorang untuk dituturkan oleh siswa. Kelima, bahasa-bahasa itu berbeda.



DAFTAR PUSTAKA
Asyrofi, Syamsuddin, dkk. 2006. Metode Pembelajaran Bahasa Arab. Pokja Akademik UIN SUKA : Yogyakarta.
Parera, Daniel Jos. 1997. Linguistik Edukasional. Erlangga : Jakarta.
Hamid, M. Abdul, dkk. 2008. Pembelajaran Bahasa Arab. UIN-MALANG Press : Malang.

TEORI-TEORI BELAJAR DAN PENGAPLIKASIANNYA PEMBELAJARAN

TEORI-TEORI BELAJAR DAN PENGAPLIKASIANNYA DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Berikut ini adalah beberapa teori belajar dan pengaplikasiannya dalam proses pembelajaran :
1. Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Aplikasi teori behaviorisme biasanya meliputi beberapa langkah berikut ini :
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2. Menganaiisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi "entry behavior" mahasiswa (pengetahuan awal mahasiswa).
3. Menentukan materi pelajaran ( pokok bahasan, topik dan lain sebagainya ).
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik, dan sebagainya).
5. Menyajikan materi pelajaran.
6. Memberikan stimulus yang mungkin berupa: pertanyaan (lisan atau tertulis): tes , latihan, tugas-tugas.
7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan.
8. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif).
9. Memberikan stimulus baru.
10. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar),
Memberikan penguatan.

2. Kognitifistik
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya , melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respons terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi
Aplikasi Teori Perkembangan Piaget sangat mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar, dengan mengaktifkan pembelajar maka proses asimilasi/akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sedangkan aplikasi Teori Kognitif Bruner sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri. Karena itulah teori Bruner ini dianggap sangat cenderung bersifat discovery (belajar dengan cara menemukan).
Aplikasi teori Bermakna Ausubel ialah menuntut pembelajar belajar secara deduktif (dari umum ke khusus). Bruner lebih mementingkan struktur disiplin ilmu, Ausubel lebih menekankan pada aspek struktur kognitif mahasiswa.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
3. Humanistik
Aplikasi teori belajar humanistik dalam prakteknya cenderung mendorong mahasiswa untuk berpikir induktif (dari contoh ke konsep, dari konkrit ke abstrak, dari khusus ke umum, dan sebagainya). Teori ini mementingkan faktor pengalaman (keterlibatan aktif) mahasiswa di dalam proses belajar.
Prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawabterhadapprosesbelajaritu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam danlestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yangbersifatnegatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas,jujurdanpositif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atasinisiatifsendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yangditunjukkan.
5. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
6. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa


4. Sibernetik
Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Hanya saja sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa lebih dipentingkan. Hal lain yang berkaitan dengan teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Sebuah informasi akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Aplikasi teori belajar sibernetik dalam pembelajaran ialah:
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2. Menentukan metode pelajaran.
3. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut.
4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi itu (apakah algoritmik ataukah heuristik).
6. Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya.
7. Menyajikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai denganurutanmateripelajaran.

5. Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai   “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Psikologi Gestalt ini terkenal juga sebagai teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebuh dari pada bagian- bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antaralain:
1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya
2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya.
4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi ynag lebih luas.
5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi membei dorongan yang mengerakan seluruh organisme.
7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a.     Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b.     Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan  dalam proses pembelajaran.
c.      Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.
d.     Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e.     Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.  Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek  dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.

6. Konstruktivistik.
Teori belajar kontruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada dalam diri seseorang. Si pelajar dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas. Kontruktivistik menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam , pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa.
Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya , meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya . Suatu pengetahuan diangap benar bila pengetahuan itu berguna menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing – masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus – menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajarmengajaradalah:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendir.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsepi lmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalahyang relevan dengan siswa.
6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mencari dan menilai pendapat siswa.
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa.
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga, orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran..

7. Multiple Intellegence
Pada tahun 1983 Howard Gardner dalam bukunya The Theory of Multiple Intelegence, mengusulkan tujuh macam komponen kecerdasan, yang disebutnya dengan Multiple Intellegence (Intelegensi Ganda). Intelegensi ganda meliputi: (1) kecerdasan linguistic-verbal dan (2) kecerdasan logiko-matematik yang sudah dikenal sebelumnya, ia menambahkan dengan komponen kecerdasan lainnya yaitu (3) kecerdasan spasial-visual, (4) kecerdasan ritmik-musik, (5) kecerdasan kinestetik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal. Sekarang tujuh kecerdasan tersebut di atas sudah bertambah lagi dengan satu komponen kecerdasan yang lain, yaitu (8) kecerdasan naturalis.
Pokok-pokok pikiran Gardner (1993) dalam Budiningsih (2005: 113) adalah: (1) manusia mempunyai kemampuan meningkatkan dan memperkuat kecerdasannya; (2) kecerdasan merupakan realitas majemuk yang muncul di bagian-bagian yang berbeda pada sistem otak dan pikiran manusia; (3) kecerdasan selain dapat berubah, dapat pula diajarkan kepada orang lain; (4) pada tingkat tertentu, kecerdasan ini merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Aplikasi teori multiple intellegence dalam pembelajaran (a) pada hakikatnya setiap anak didik tidak hanya memiliki satu kecerdasan, melainkan kecerdasan ganda, (b) dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, guru harus menempatkan anak didik sesuai dengan perbedaan individualnya, antara lain perbedaan dalam kecerdasannya, (c) satu-satunya sumbangan paling penting dari pendidikan adalah membantu anak didik untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten.
8. Quantum Learning
Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Quantum Learning berakar dari upaya Dr. George Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif dan negatif.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan NLP dengan teori, keyakinan dan metode sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, sepeti:
1. Teori otak kanan/otak kiri
2. Teori otak triune (3 in 1)
3. Pilihan modalitas (visual, auditorial, kinestetik)
4. Teori kecerdasan ganda
5. Pendidikan holistic (menyeluruh)
6. Belajar berdasarkan pengalaman
7. Belajar dengan simbol (metaphorik learning)
8. Simulasi/permainan.
Jadi dapat disintesiskan Quantum Learning adalah gabungan kegiatan yang seimbang antara bekerja dan bermain, dengan kecepatan yang mengesankan dan dibarengi dengan kegiatan yang menggembirakan. Serta efektif digunakan oleh semua umur.
Aplikasi Quantum Learning dalm pembelajaran :
1. Penemuan AMBAK (Akronim dari “apa manfaatnya bagiku”).
2. Pemberian pujian positif.
3. Penggunaan tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar.
4. Pencarian cara belajar diri dengan gaya belajar siswa sendiri.
5. Penggunaan Peta Pikiran (mind map).
6. Perayaan Keberhasilan.

9. Progresivisme.
Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progresivisme” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajaran itu sendiri. Maka munculah “child centered curriculum” dan “child centered school”.
Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.
Prinsip-prinsip pendidikan dalam Progresivisme :
1. Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.
2. Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
3. Peran guru adalah sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu, daripada sebagai rujukan otoriter dan pengarah ruang kelas.
4. Sekolah adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar.
5. Aktifitas ruang kelas memfokuskan pada pemecahan masalah daripada metode-metode artifisial (buatan) untuk pengajaran metode kajian.
6. Atmosfir sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis.
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.

10. Teori Belajar Revolusi-Sosio-Kultural
Timbul keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya berbagai problem sosial seperti ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan yang disebabkan oleh lemahnya social capital (modal sosial) mendorong mereka yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut dalam praktik ¬praktik pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat yang paling dini hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks sosial budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berprkir kreatif, kritis dan produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan revolusi¬sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenamya lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic law of development, zona of proximal development, dan mediasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.
Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps cognitive scaffolding) yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan. Sedangkan anak yang telah mampu belajar sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya.
REFERENSI
http://rahmat-saripudin.blogspot.com
http://mirnaferdiyawati-uin-bi-2b.blogspot.com
http://edu-articles.com
http://ananggayam.blogspot.com

Minggu, 03 Januari 2010

ASPEK MORFOLOGI DALAM LINGUSTIK

A. Pengertian Morfologi.
Salah satu bidang yang dibahas dalam bahasa adalah morfologi. Morfologi ialah bidang yang mengkaji struktur, pembentukan kata, dan golongan kata. Morfologi merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata dalam berbagai penggunaan dan konstruksi. Perubahan-perubahan bentuk kata menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Perbedaan golongan dan arti kata tidak lain disebabkan oleh perubahan bentuk kata. Karena itu, morfologi di samping bidang utamanya mempelajari seluk-beluk kata, juga mempelajari kemungkinan adanya perubahan golongan dan arti kata yang timbul sebagai akibat perubahan bentuk kata. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun semantik.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang morfologi, di sini akan dijelasan tentang istilah morfem, morf, dan alomorf.
Menurut Lehmann, morfem adalah elemen kata terkecil yang memiliki arti tertentu. Sedangkan menurut Gleason, morfem adalah unit terkecil yang secara gramatikal bermakna. Menurut Wardhaugh, morfem adalah bagian bahasa bermakna yang terkecil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa morfem adalah unit bahasa terkecil yang memiliki makna. Atau dengan kata lain, morfem adalah unit terkecil dalam bahasa yang berfungsi dalam gramatis atau yang menjalankan tugas.
Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, dua, atau lebih dari itu. Misalnya, adalah morfem meN- bisa menjadi melihat, merasa, membawa, mendengar, menyanyi, dan menggali yang menunjukkan bahwa morfem meN- mempunyai beberapa alomorf. Perbedaannya dengan morf adalah kalau morf merupakan nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf untuk bentuk yang sudah diketahui statusnya.

Klasifikasi Morfem.
Morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas secara singkat.
a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat.
Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam penuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam penuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Begitu juga dengan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.
b. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi.
Perbedaan antara morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan suatu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi karena disisipi morfem lain. Semua morfem dasar bebas seperti {meja}, {kursi}, {kecil}, dan {laut} termasuk morfem utuh. Begitu juga dengan sebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, {henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yaitu {ke-/-an}.
c. Morfem Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan antara morfem segmental dan suprasegmental terletak pada jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber-}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara di Benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan penunjuk kata (tense) yang berupa nada.
d. Morfem Beralomorf Zero
Morfem beralomorf zero atau nol adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa "kekosongan".
Misal :
Bentuk tunggal:
1. I have a book
2. I have a sheep
Bentuk jamak:
1. I have two books
2. I have two sheep
Kita lihat, bentuk tunggal untuk book adalah book dan bentuk jamaknya adalah books; bentuk tunggal untuk sheep adalah sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak books terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan {-s}, maka dapat dipastikan bentuk jamak unutk sheep adalah morfem {sheep} dan morfem {0}

e. Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem yang bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda}, {pergi}, {lari}, dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal. Sedangkan morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.

B. Hakikat, Kalsifikasi, dan Pembentukan Kata.
1. Hakikat Kata
Menurut para tata bahasawan tradisional, kata adalah satuan tata bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunya satu arti. Dalam kajian bahasa Arab malah dikatakan, “kata-kata dalam bahasa Arab biasanya terdiri dari tiga huruf”.
Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagia satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem. Batasan yang dibuat Bloomnfield sendiri, yaitu kata adalah satuan bebas terkecil.
Batasan umum yang kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang, kedalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tida dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.kedua, setipa kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat didisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
2. Klasifikasi Kata.
Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalam bahasa Inggris dengan istilah parts of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarahg linguistik menjasi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Sejak zaman Aristoteles hingga zaman sekarang persoalannya tidak perna tertuntaskan. Hal itu terjadi karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing;, dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lain.
Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan …. Jadi, kata-kata seperti buku, pensil, dan kakek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yng dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak …. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Lalu, yang disebut dengan ajektifa adalh kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat …. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, cabtik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat itu.
Ada juga kelompok linguistik yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagi patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan oleh adverbia. Oleh karena itu, semua kata yang menduduki fungsi subyek atau obyek dimasukkan ke dalam golongan nomina; yang menduduki fungsi predikat dimasukkan ke dalam golongan verba atau ajektifa; dan yang menduduki fungsii keterangan dimasukkan ke dalam golongan adverbia.
Klasifikasi kata sangat diperlukan karena besar manfaatnya, baik secara teoritis dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas sebuah kata, kita dapat memprediksikan penggunaan atau pendistribusian kata itu dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri yang sama yang dapat menduduki fungsi dalam kalimat.
3. Pembentukan Kata
Untuk dapat digunakan dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melaui proses afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Pembentukan ini mempunyai dua sifat, yaitu membentuk kata yang bersifat inflektif dan yang bersifat derivatif.
a. Inflektif
Kata-kata dalan bahasa-bahasa berfleksi, seperti bahasa Arab, bahasa Latin, dan bahasa Sansekerta, unutk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu. Alat yang dapat digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.
Pembentukan kata secara inflektif tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Perubahan atau penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan perubahan atau penyesuaian pada nomina atau ajektifa disebut deklinasi.
b. Derivatif
Pembentukan kata secara derivatif membentuk kata baru, kata yang identitasnya leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya. Umpamanya dari bahasa Inggris sing ‘menyanyi’ terbentuk kata singer ‘penyanyi’. Jelas antara kata sing dan singer identitas leksikalnya, sebab selain maknanya berbeda kelasnya juga tidak sama; sing berkelas verba, sedangkan singer berkelas berkelas nomina.
Perbedaan identitas leksikal terutama berkenaan dengan makna, sebab maskipun kelasnya, seperti kata makanan dan pemakan, yang sama-sama berkelas nomina, tetapi maknanya tidak sama.

C. Proses-proses Morfolologi.
Kata terbentuk dari morfem atau morfem-morfem. Terbentuknya kata dari morfem-morfem itu melalui suatu proses yang disebut proses morfologik atau morfemik. Jadi, proses morfologi adalah proses terbentuknya kata dari morfem-morfem. Pada umumnya dikenal delapan proses morfologik, yaitu:
1. derivasi zero : dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan apapun. Umpamanya kata drink dalam bahasa Inggris adalah nomina seperti dalam have a drink!; tetapi dapat diubah menjadi sebuah verba, drink, tanpa perubahan apa-apa, seperti dalam kaimat I want to drink.
2. afiksasi : dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks. Dengan kata lain, afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula derivatif. Dilihat pada posisi melekatnya pada bentuk dasar biasanya dibedakan adanya prefiks, infiks, sufiks, konfiks, interfiks, dan transfiks. Di samping itu masih ada istilah ambifiks dan sirkumfiks.
3. reduplikasi : dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks dengan beberapa macam proses pengulangan terhadap bentuk dasar , baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan buyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh, seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi senagian, seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Selain itu, ada juga yang dinamakan dengan reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.
4. komposisi : dalam proses ini dua leksem atau lebih berpadu dan outputnya adalah paduan leksem atau kompositum dalam tingkat morfologi atau kata majemuk dalam tingkat sintaksis. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit.
5. perubahan vokal : dalam proses ini terjadi perubahan vokal-vokal pada kata, seperti kata dalam bahasa Inggris foot---feet dan mouse---mice.
6. suplisi : dalam proses ini terdapat perubahan ekstrem yang terjadi pada kata, seperti kata dalam bahasa Inggris go---went dan be---am atau was.
7. pengurangan atau substraksi : dalam proses ini terjadi pengurangan pada kata, seperti pada kata dalam bahasa Prancis blanc sebagi kata ajektif maskulin yang berasal dari ajektif feminin blanch.
8. klitisasi : dalam proses ini terdapat pembubuhan klitik pada bentuk dasar, seperti dalam bahasa Toraja Saqdan di samping kata aku ’saya’ terdapat akumo ’sayalah’.

D. Morfofonemik.
Morfofonemik atau morfofonologi merupakan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya proses morfologik yaitu perubahan fonem yang disebabkan oleh pengabungan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya, dan proses perubahannya disebut proses morfofonemik atau proses morfofonologik. Misalnya, penggabungan morfem meN- dengan morfem angkut menjadi mengangkut menmbulkan perubahan fonem /N/ menjadi /ng/, penggabungan morfem meN- dengan pukul menjadi memukul menimbulkan perubahan fonem /N/ menjadi /m/, dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan meN- menjadi meng- dan mem- bukannya ditentukan oleh morfem yang mengikutinya atau morfem yang menjadi bentuk dasarnya, melainkan ditentukan oleh fonem awal morfem itu. Dengan kata lain, perubahan morfem meN- itu ditentukan oleh syarat-syarat fonologik.
Ada juga perubahan fonem yang tidak ditentukan oleh syarat-syarat fonologik, melainkan ditentukan oleh syarat-syarat gramatik. Misalnya penggabungan morfem ber- dengan morfem ajar menjadi belajar mengakibatkan perubahan fonem /r/ pada morfem ber- menjadi berubah menjadi fonem /l/.
Perubahan fonem dalam proses morfofonemik ini dapat berwujud:
(1) Pemunculan fonem. Hal ini dapat dilihat dalam proses pengimbuhan prefi me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca.
(2) Pelepasan fonem. Hal ini dapat dilihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah dimana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang. Sejarah + wan--- sejarawan.
(3) Peluluhan fonem. Hal ini dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dari prefiks tersebut. Me- + sikat ---menyikat.
(4) Perubahan fonem. Hal ini dapa kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/. ber + ajar---belajar
(5) Pergesrean fonem. Hal ini dapat kita lihat dalam pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wad/ pindah ke silabel /ban/.

HAKIKAT SARANA DAN PRASARANA MENURUT SUDUT PANDANG FILOSOFIS ISLAM

A. Pengertian sarana dan prasarana
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, sarana diartikan sebagai segala sesuatu yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai maksud / tujuan ; alat ; media.
Dalam buku Manajemen Pendidikan yang ditulis oleh Prof. Dr. Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana S.Pd., menurut rumusan tim penyusun pedoman pembakuan media pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang bergerak maupun tidak bergerak agar pencapain tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif, dan efisien.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, prasarana diartikan sebagai segala yang menunjang terlaksananya suatu proses usaha, proyek, dan sebagainya. Sedangkan dalam KBBI prasarana adalah segala yang merupakan penunjang terselanggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya).
Sarana Pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Sedangkan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung dalam proses belajar mengajar maka menjadi sarana pendidikan, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai sekaligus lapangan olahraga,dan sebagainya.

B. Istilah-istilah yang relevan dengan sarana dan prasarana
Ada beberapa istilah yang relevan, berhubungan, dan memiliki arti yang berdekatan dengan sarana dan prasarana, yaitu sebagai berikut.
1. Fasilitas
Dalam KBBI fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya atau memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan. Dalam buku Manajemen Pendidikan yang ditulis oleh Prof. Dr. Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana S.Pd., fasilitas diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat mempermudah dan melancarkan pelaksanaan suatu usaha baik dapat berupa benda maupun uang. Jadi dalam hal ini fasilitas dapat disamakan dengan sarana.
2. Alat
Alat pendidikan menurut Sutari Imam Barnadib ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan di dalam pendidikan. Dalam pengertian lain alat pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu atau hal-hal yang bisa menunjang kelancaran dari proses pelaksanaan pendidikan. Alat pendidikan ini berupa segala tingkah laku perbuatan (teladan), anjuran atau perintah, larangan, dan hukuman.
Alat pendidikan bukan suatu resep yang sewaktu- waktu dapat digunakan secara tepat guna dan mantap. Alat pendidikan merupakan sesuatu yang harus dpilih sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang jelas alat pendidikan tidak hanya terbatas pada benda- benda yang bersifat konkret saja, tetapi juga yang bersifat abstrak seperti nasihat, tuntunan, bimbingan, contoh, hukuman, ancaman, dan sebagainya.
Dari pengertian- pengertian di atas terdapat kesamaan substansial antara sarana dan prasarana dengan fasilitas dan alat pendidikan. Kesamaan itu dapat kita katakan bahwa inti ketiga istilah itu adalah sebagai sesuatu (dalam arti yang luas) yang sifatnya mempermudah dan menunjang proses KBM dan berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu,kami memberanikan diri menyamakan ketiga istilah tersebut, walaupun pasti ada perbedaanya.

C. Jenis dan Fungsi Sarana & Prasarana
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sarana & prasarana sebagai alat pendidikan itu tidak terbatas hanya pada benda-benda yang konkret saja tetapi juga berupa benda-benda abstrak. Berikut ini jenis-jenis sarana prasarana yaitu sebagai berikut.
1. Sarana Dan Prasarana Berdasarkan Fungsinya.
Berdasarkan fungsinya sarana dan prasarana dapat dikelompokkan menjadi sarana dan prasarana yang bersifat langsung dan tidak langsung.
a. Sarana Prasarana Langsung
Adalah alat-alat yang langsung digunakan dalam proses belajar mengajar seperti alat pelajaran, alat peraga, alat praktek dan media pendidikan.
b. Sarana Prasarana Tidak Langsung
Adalah alat-alat yang tidak langsung terlibat dalam proses belajar mengajar, seperti bangunan sekolah, meja guru, perabot kantor tata usaha, air, listrik, telepon, dan sebagainya.
2. Berdasarkan Jenisnya
a. fisik (material)
Adalah segala sesuatu yang berwujud benda mati atau dibendakan, misalnya kendaraan, mesin tulis, komputer, perabot, alat peraga, media, dan sebagainya.
b. Non-Fisik
Adalah sesuatu yang bukan benda mati atau dibendakan, seperti manusia, jasa, uang, dan sebagainya.
3. Berdasarkan Sifat Barangnya
a. Barang Bergerak
Barang bergerak ini terbagi menjadi dua, yaitu habis pakai dan tidak habis pakai. Barang habis pakai seperti kapur tulis, tinta, kertas, spidol, dan sebagainya. Barang tidak habis pakai seperti mesin tulis, komputer, kendaraan, perabot, media pendidikan, dan sebagainya.
b. Barang Tidak Bergerak
Adalah, seperti bangunan atau gedung, sumur, menara, dan sebagainya.
Pengklasifikasian sarana dan prasarana diatas umumnya bersifat konkret. Berikut ini penjelasan tentang beberapa sarana dan prasarana abstrak pendidikan.
1. Tingkah Laku Perbuatan (Teladan)
Segala tingkah laku perbuatan dan cara-cara berbicara akan mudah ditiru oleh anak didik. Oleh karena sebagai pendidik dalam hal ini harus memberikan contoh yang baik agar anak didiknya dengan mudah meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Hal demikian ini dapat kita lihat dari dorongan meniru pada anak-anak.
Tingkah laku perbuatan Rasulullah SAW merupakan suatu contoh yang baik, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Dengan contoh tingkah laku perbuatan, timbullah gejala identifikasi, yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru. Hal ini sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak didik. Ini merupakan suatu proses yang ditempuh anak didik dalam mengenal nilai-nilai kehidupan.
2. Anjuran/Perintah
Apabila dalam contoh perbuatan berupa tingkah laku tersebut anak didik dapat memperhatikan dan melihat apa yang dilakukan oleh orang lain (pendidik), maka dalam anjuran atau perintah ini anak didik dapat mendengar apa yang harus dilakukan.
Dalam Al-Qur’an dan hadits banyak kita jumpai anjuran/perintah untuk mengerjakan suatu perbuatan, diantaranya :
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
Artinya : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”

3. Larangan
Larangan adalah suatu usaha yang tegas untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang ternyata salah dan merugikan yang bersangkutan. Larangan ini merupakan suatu keharusan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Misalnya larangan mempersekutukan Allah, berlaku sombong dan sebagainya.
Firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 37 :
Artinya : “Dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan sombong”.

4. Hukuman
Setelah larangan yang diberikan ternyata masih adanya pelanggaran yang dilakukan tibalah waktunya memberikan hukuman. Ini umumnya membawa hal-hal yang tidak menyenangkan, yang biasanya tidak diinginkan. Hukuman ini agar yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan yang terlarang itu.
Sehubungan hukum ini, kita jumpai beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, seperti firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 85 yang artinya : “Barangsiapa yang menganut agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima daripadanya. Dan dia kelak di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Fungsi alat pendidikan.
Ada beberapa fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai alat perlengkapan.
2. Sebagai pembantu untuk mempermudah usaha mencapai tujuan .
3. Sebagai tujuan.

D. Hakikat sarana dan prasarana
Setelah kita membaca dan mengetahui penjelasan tentang sarana dan prasarana, maka kita dapat memahami bahwa hakikat sarana dan prasarana itu adalah sebagai berikut.
1. sesuatu yang tidak hanya berupa benda konkret tetapi juga dapat berupa benda abstrak seperti teladan, anjuran/perintah, larangan,dan hukuman;
2. bersifat mempermudah sebagai alat dan penunjang agar proses pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien;
3. berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan.


KESIMPULAN
Sarana Pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan,khusunta proses nelajar mengajar,seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-akat dab media pengajaran. Sedangkan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menhuhjang jalannya proses pendidikan,seperti halaman,kebun,taman sekolah,jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara angsung dalam proses belajar mengajar maka menjadi sarana pendidikan,seperti taman sekolah untuk pengaaran biologi, halaman sekolah senagai sekaligus lapanganolahraga,dan sebagainya.
Ada beberapa istilah yang relevan, berhubungan, dan memiliki arti yang berdekatan dengan sarana dan prasarana, yaitu fasilitas dan alat pendidikan. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya atau memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sedangkan alat pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu atau hal-hal yang bisa menunjang kelancaran dari proses pelaksanaan pendidikan.
Sarana prasarana dapat dikalsifikasikan menurut fungsi, sifat barang dan jenisnya. Hakikat sarana prasarana adalah sesuatu yang tidak hanya berupa benda konkret tetapi juga dapat berupa benda abstrak seperti teladan, anjuran/perintah, larangan,dan hukuman, bersifat mempermudah sebagai alat dan penunjang agar proses pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien, dan berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan.

CARA MELEJITKAN DAN MENGOPTIMALKAN MEMORI


CARA MELEJITKAN DAN MENGOPTIMALKAN MEMORI
A. Pengertian Memori.
Menurut Bruno, memori merupakan proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan. Memori sesungguhnya merupakan fungsi mental yang menyimpan informasi yang kita tangkap dan ia merupakan storage sistem, yakni sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia.
            Menurut Best, sistem sebelum masuk dan diproses oleh subsistem akal pendek (short term memori) terlebih dahulu disimpan sesaat atau tepatnya lewat, karena hanya dalam waktu sepersekian detik, dalam tempat penyimpanan sementara yang disebut sensory memory alias sensori register yakni subsistem penyimpanan pada syaraf indera penerima informasi. Dalam dunia kedokteran subsistem ini disebut “syaraf sensori” yang berfungsi mengirimkan impuls ke otak.
            Dengan demikian, struktur sistem akal manusia terdiri atas tiga subsistem, yakni: sensori register, short term memory, dan long system memory. Istilah memori dalam hal ini lazim juga disebut “storage” atau tempat penyimpanan informasi.
            Ditinjau dari sudut informasi dan pengetahuan yang disimpan, memori manusia itu terdiri atas dua macam.
  1. Semantic memory (memori semantik), yakni memori khusus yang menyimpan arti-arti atau pengertian-pengertian.
  2. Episodic memory (memori episodik), yaitu memori khusus yang menyimpan informasi tentang peristiwa-peristiwa.
            Menurut Reber, dalam memori semantik, informasi yang diterima ditransfomasikan dan diberi kode arti, lalu disimpan atas dasar arti itu. Jadi, informasi yang kita simpan tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk kode yang memiliki arti. Sedangkan menurut Daehler dan Bukatko, memori episodik adalah memori yang menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi.
            Hingga kini masih sulit dipastikan bagaimana dan sejauh mana hubungan antara kedua memori tersebut. Namun, sebagian ahli memperkirakan bahwa memori episodik mungkin dapat membuka jalan penyimpanan pengetahuan yang bersifat semantik. Best berpendapat bahwa antara item pengetahuan episodik dengan item pengetahuan semantik terdapat hubungan yang memungkinkan bergabungnya item episodik dalam memori semantik. Dalam hal ini, item pengetahuan dalam memori episodik dapat diproses/dimodifikasi oleh sistem aka kita menjadi item-item yang berbentuk arti-arti sehingga memperoleh akses ke memori semantik. Di luar kemungkinan proses ini, belum ada keterangan lain yang lebih akurat mengenai cara dan sifat penggabungan antara memori episodik dengan memori semantik.
B. Fungsi, Sifat, dan Jenis Memori.
Secara teori dapat kita dibedakan adanya tiga aspek dalam berfungsinya ingatan itu, yaitu :
a.       mencamkan, yaitu menerima kesan-kesan;
b.      menyimpan kesan-kesan;
c.       memproduksikan kesan-kesan.
Atas dasar kenyataan inilah, maka biasanya ingatan didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksikan kesan-kesan.
Pensifatan yang diberikan kepada ingatan juga lalu diberikan kepada masing-masing aspek itu. Ingatan yang baik mempunyai sifat-sifat : cepat atau mudah mencamkan, setia, teguh, luas,dalam menyimpan dan siap atau sedia dalam mereproduksikan kesan-kesan.
Ingatan cepat artinya mudah dalan mencamkan sesuatu hal dalam menjumpai kesukaran. Ingatan setia artinya apa yang telah diterima (dicamkan) itu akan disimpan sebaik-baiknya, tak kan berubah-ubah, jadi tetap cocok dengan keadaan waktu menerimanya. Ingatan teguh artinya dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama, tidak mudah lupa. Ingatan luas artinya dapat menyimpan banyak kesan-kesan. Ingatan siap artinya mudah dapat mereproduksi kesan yang telah disimpannya.                                                                   
         Atkinson dan Shiffrin (1968) mengajukan suatu teori atau model tentang pemrosesan informasi dalam memori manusia yang menyatakan bahwa informasi diproses dan disimpan dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu Sensory Memory, Short-term Memory, dan Long-term Memory (Huit, 2003; Flavell, 1985; Woolfolk, 2004; Gagne, 1985). Model pemrosesan informasi Atkinson dan Shiffrin ini dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Sensory Memory (SM)
Informasi masuk ke dalam sistem pengolah informasi manusia melalui
berbagai saluran sesuai dengan inderanya. Sistem persepsi bekerja pada
informasi ini untuk menciptakan apa yang kita pahami sebagai persepsi.
Karena keterbatasan kemampuan dan banyaknya informasi yang masuk, tidak
semua informasi bisa diolah. Informasi yang baru saja diterima ini
disimpan dalam suatu ruang sementara (buffer) yang disebut sensory memory.
Durasi suatu informasi dapat tersimpan di dalam sensory memory ini sangat
singkat, kurang dari 1/2 sekon untuk informasi visual dan sekitar 3 sekon
untuk informasi audio. Tahap pemrosesan informasi tahap pertama ini sangat
penting karena menjadi syarat untuk dapat melakukan pemrosesan informasi
di tahap berikutnya, sehingga perhatian pembelajar terhadap informasi yang
baru diterimanya ini menjadi sangat diperlukan. Pembelajar akan memberikan
perhatian yang lebih terhadap informasi jika informasi tersebut memiliki
fitur atau ciri khas yang menarik dan jika informasi tersebut mampu
mengaktifkan pola pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior
knowledge).
b. Short-term Memory (STM) atau "Working Memory"
Short-term memory atau working memory berhubungan dengan apa yang sedang
dipikirkan seseorang pada suatu saat ketika menerima stimulus dari
lingkungan. Durasi suatu informasi tersimpan di dalam short-term memory
adalah 15 – 20 sekon. Durasi penyimpanan di dalam short-term memory ini
akan bertambah lama, bisa menjadi sampai 20 menit, jika terdapat
pengulangan informasi. Informasi yang masuk ke dalam short-term memory
berangsur-angsur menghilang ketika informasi tersebut tidak lagi
diperlukan. Jika informasi dalam short-term memory ini terus digunakan,
maka lama-kelamaan informasi tersebut akan masuk ke dalam tahapan
penyimpanan informasi berikutnya, yaitu long-term memory.
c. Long-term Memory (LTM)
Long-term memory merupakan memory penyimpanan yang relatif permanen, yang dapat menyimpan informasi meskipun informasi tersebut mungkin tidak
diperlukan lagi. Informasi yang tersimpan di dalam long-term memory
diorganisir ke dalam bentuk struktur pengetahuan tertentu, atau yang
disebut dengan schema. Schema mengelompokkan elemen-elemen informasi
sesuai dengan bagaimana nantinya informasi tersebut akan digunakan,
sehingga schema memfasilitasi akses informasi di waktu mendatang ketika
akan digunakan (proses memanggil kembali informasi). Dengan demikian,
keahlian seseorang berasal dari pengetahuan yang tersimpan dalam bentuk
schema di dalam long-term memory, bukan dari kemampuannya untuk melibatkan
diri dengan elemen-elemen informasi yang belum terorganisasi di dalam
long-term memory (Merrienboer dan Sweller, 2005).
         Penyimpanan informasi dalam long-term memory dapat diumpamakan seperti peristiwa yang terjadi pada penulisan data ke dalam disket atau hardisk
komputer atau pun perekaman suara ke dalam kaset. Kapasitas penyimpanan
dalam long-term memory ini dapat dikatakan tak terbatas besarnya dengan
durasi penyimpanan seumur hidup. Kapasitas penyimpanan disebut tak
terbatas dalam arti bahwa tidak ada seseorang pun yang pernah kekurangan
“ruang” untuk menyimpan informasi baru, berapa pun umur orang tersebut.
Durasi penyimpanan seumur hidup diartikan sebagai informasi yang sudah
masuk di dalam long-term memory tidak akan pernah hilang, meskipun bisa
saja terjadi informasi tersebut tidak berhasil diambil kembali (retrieval) karena beberapa alasan.

                                                                                                                    
C. Lupa dan Faktor-faktor yang Menyebabkannya.
Soal mengingat dan lupa biasanya juga ditunjukkan dengan satu pengertian saja, yaitu retensi, karena memang sebenarnya kedua hal tersebut hanyalah memandang hal yang satu dan sama dari segi yang berlainan. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal yang dilupakan adalah hal yang tidak diingat (tak dpat diingat kembali.
            Lupa (forgetting) adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau meproduksi kembali apa sebelumnya yang telah dipelajari. Secara sederhana, Gulo dan Reber mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, kelupaan bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
            Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tidak terbukti.
Faktor-faktor Penyebab Lupa.
  • Karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa;
  • Karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja maupun tidak;
  • Karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali;
  • Karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu;
  • Menurut law of disuse (Hilgard dan Bower), lupa dapat terjadi materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa;
  • Karena perubahan urat syaraf otak.


D. Kiat-kiat Mengurangi Lupa dalam Belajar.
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adaah dengan cara meningkatkan daya ingat akal kita. Banyak ragam yang dapat dicoba dalam meningkatkan daya ingatan, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), adalah sebagai berikut.
1. Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Maksudnya adalah melakukan pembelajaran atas respons di luar kebiasaan. Misalnya pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap P4 lebih kuat.
2. Extra Study Time (tambahan waktu belajar) adalah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktifitas belajar.
3. Mnemonic Device (muslihat memori) atau yang juga sering disebut mnemonic yang berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam sistem akal. Muslihat mnemonik ini banyak ragamnya, diantaranya adalah rima, singkatan, sistem kata pasak, metode losai, dan sistem kata kunci.
4. Pengelompokkan, maksudnya adalah menata ulang item-iten materi menjadi kelompok-kelompok kecil yanhg dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
5. Latihan terbagi, yaitu latihan terkumpul yang dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat.
  1. Pengaruh letak bersambung, yaitu dengan cara menyusun daftar kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan diakhiri dengan kata yang harus diingat serta diberi huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat.
         Ada salah satu teknik yang paling terkenal untuk peningkatan ingatan, disebut metode PQ4R, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar dan mengingat materi yang disajikan dalam suatu buku teks ( Thomas dan Robinson, 1972). Metode ini mengambil nama dari singkatan huruf  pertama keenam tahapannya :
1) Preview (penjajakan), untuk mendapatkan  tentang berbagai topik pokok dan bagiannya.
2) Questions (mengajukan pertanyaan-pertanyaan), membuat pertanyan untuk setiap bagian.
3) Read (membaca), membaca bagian itu dengan teliti untuk menjawab pertanyaan.
4) Reflect (merefleksikan), merefleksikan teks pada waktu membaca ,memikirkan, dan menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
5) Recite (menceritakan), mengulang setelah menyelesaikan satu bagian.
6) Review (mengulang), seteleh menyelesaikan satu bab penuh.
Ringkasnya metode ini bergantung pada tiga prinsip dasar untuk meningkatkan ingatan : mengorganisasi materi, menguraikan materi, dan melatih pengingatan kembali. Kebanyakan metode belajar yang dikemukakan oleh para pendidik dan para ahli lainnya berdasarkan pada prinsip yang sama.


CARA MELEJITKAN DAN MENGOPTIMALKAN MEMORI


CARA MELEJITKAN DAN MENGOPTIMALKAN MEMORI
A. Pengertian Memori.
Menurut Bruno, memori merupakan proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan. Memori sesungguhnya merupakan fungsi mental yang menyimpan informasi yang kita tangkap dan ia merupakan storage sistem, yakni sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia.
            Menurut Best, sistem sebelum masuk dan diproses oleh subsistem akal pendek (short term memori) terlebih dahulu disimpan sesaat atau tepatnya lewat, karena hanya dalam waktu sepersekian detik, dalam tempat penyimpanan sementara yang disebut sensory memory alias sensori register yakni subsistem penyimpanan pada syaraf indera penerima informasi. Dalam dunia kedokteran subsistem ini disebut “syaraf sensori” yang berfungsi mengirimkan impuls ke otak.
            Dengan demikian, struktur sistem akal manusia terdiri atas tiga subsistem, yakni: sensori register, short term memory, dan long system memory. Istilah memori dalam hal ini lazim juga disebut “storage” atau tempat penyimpanan informasi.
            Ditinjau dari sudut informasi dan pengetahuan yang disimpan, memori manusia itu terdiri atas dua macam.
  1. Semantic memory (memori semantik), yakni memori khusus yang menyimpan arti-arti atau pengertian-pengertian.
  2. Episodic memory (memori episodik), yaitu memori khusus yang menyimpan informasi tentang peristiwa-peristiwa.
            Menurut Reber, dalam memori semantik, informasi yang diterima ditransfomasikan dan diberi kode arti, lalu disimpan atas dasar arti itu. Jadi, informasi yang kita simpan tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk kode yang memiliki arti. Sedangkan menurut Daehler dan Bukatko, memori episodik adalah memori yang menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi.
            Hingga kini masih sulit dipastikan bagaimana dan sejauh mana hubungan antara kedua memori tersebut. Namun, sebagian ahli memperkirakan bahwa memori episodik mungkin dapat membuka jalan penyimpanan pengetahuan yang bersifat semantik. Best berpendapat bahwa antara item pengetahuan episodik dengan item pengetahuan semantik terdapat hubungan yang memungkinkan bergabungnya item episodik dalam memori semantik. Dalam hal ini, item pengetahuan dalam memori episodik dapat diproses/dimodifikasi oleh sistem aka kita menjadi item-item yang berbentuk arti-arti sehingga memperoleh akses ke memori semantik. Di luar kemungkinan proses ini, belum ada keterangan lain yang lebih akurat mengenai cara dan sifat penggabungan antara memori episodik dengan memori semantik.
B. Fungsi, Sifat, dan Jenis Memori.
Secara teori dapat kita dibedakan adanya tiga aspek dalam berfungsinya ingatan itu, yaitu :
a.       mencamkan, yaitu menerima kesan-kesan;
b.      menyimpan kesan-kesan;
c.       memproduksikan kesan-kesan.
Atas dasar kenyataan inilah, maka biasanya ingatan didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksikan kesan-kesan.
Pensifatan yang diberikan kepada ingatan juga lalu diberikan kepada masing-masing aspek itu. Ingatan yang baik mempunyai sifat-sifat : cepat atau mudah mencamkan, setia, teguh, luas,dalam menyimpan dan siap atau sedia dalam mereproduksikan kesan-kesan.
Ingatan cepat artinya mudah dalan mencamkan sesuatu hal dalam menjumpai kesukaran. Ingatan setia artinya apa yang telah diterima (dicamkan) itu akan disimpan sebaik-baiknya, tak kan berubah-ubah, jadi tetap cocok dengan keadaan waktu menerimanya. Ingatan teguh artinya dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama, tidak mudah lupa. Ingatan luas artinya dapat menyimpan banyak kesan-kesan. Ingatan siap artinya mudah dapat mereproduksi kesan yang telah disimpannya.                                                                   
         Atkinson dan Shiffrin (1968) mengajukan suatu teori atau model tentang pemrosesan informasi dalam memori manusia yang menyatakan bahwa informasi diproses dan disimpan dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu Sensory Memory, Short-term Memory, dan Long-term Memory (Huit, 2003; Flavell, 1985; Woolfolk, 2004; Gagne, 1985). Model pemrosesan informasi Atkinson dan Shiffrin ini dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Sensory Memory (SM)
Informasi masuk ke dalam sistem pengolah informasi manusia melalui
berbagai saluran sesuai dengan inderanya. Sistem persepsi bekerja pada
informasi ini untuk menciptakan apa yang kita pahami sebagai persepsi.
Karena keterbatasan kemampuan dan banyaknya informasi yang masuk, tidak
semua informasi bisa diolah. Informasi yang baru saja diterima ini
disimpan dalam suatu ruang sementara (buffer) yang disebut sensory memory.
Durasi suatu informasi dapat tersimpan di dalam sensory memory ini sangat
singkat, kurang dari 1/2 sekon untuk informasi visual dan sekitar 3 sekon
untuk informasi audio. Tahap pemrosesan informasi tahap pertama ini sangat
penting karena menjadi syarat untuk dapat melakukan pemrosesan informasi
di tahap berikutnya, sehingga perhatian pembelajar terhadap informasi yang
baru diterimanya ini menjadi sangat diperlukan. Pembelajar akan memberikan
perhatian yang lebih terhadap informasi jika informasi tersebut memiliki
fitur atau ciri khas yang menarik dan jika informasi tersebut mampu
mengaktifkan pola pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior
knowledge).
b. Short-term Memory (STM) atau "Working Memory"
Short-term memory atau working memory berhubungan dengan apa yang sedang
dipikirkan seseorang pada suatu saat ketika menerima stimulus dari
lingkungan. Durasi suatu informasi tersimpan di dalam short-term memory
adalah 15 – 20 sekon. Durasi penyimpanan di dalam short-term memory ini
akan bertambah lama, bisa menjadi sampai 20 menit, jika terdapat
pengulangan informasi. Informasi yang masuk ke dalam short-term memory
berangsur-angsur menghilang ketika informasi tersebut tidak lagi
diperlukan. Jika informasi dalam short-term memory ini terus digunakan,
maka lama-kelamaan informasi tersebut akan masuk ke dalam tahapan
penyimpanan informasi berikutnya, yaitu long-term memory.
c. Long-term Memory (LTM)
Long-term memory merupakan memory penyimpanan yang relatif permanen, yang dapat menyimpan informasi meskipun informasi tersebut mungkin tidak
diperlukan lagi. Informasi yang tersimpan di dalam long-term memory
diorganisir ke dalam bentuk struktur pengetahuan tertentu, atau yang
disebut dengan schema. Schema mengelompokkan elemen-elemen informasi
sesuai dengan bagaimana nantinya informasi tersebut akan digunakan,
sehingga schema memfasilitasi akses informasi di waktu mendatang ketika
akan digunakan (proses memanggil kembali informasi). Dengan demikian,
keahlian seseorang berasal dari pengetahuan yang tersimpan dalam bentuk
schema di dalam long-term memory, bukan dari kemampuannya untuk melibatkan
diri dengan elemen-elemen informasi yang belum terorganisasi di dalam
long-term memory (Merrienboer dan Sweller, 2005).
         Penyimpanan informasi dalam long-term memory dapat diumpamakan seperti peristiwa yang terjadi pada penulisan data ke dalam disket atau hardisk
komputer atau pun perekaman suara ke dalam kaset. Kapasitas penyimpanan
dalam long-term memory ini dapat dikatakan tak terbatas besarnya dengan
durasi penyimpanan seumur hidup. Kapasitas penyimpanan disebut tak
terbatas dalam arti bahwa tidak ada seseorang pun yang pernah kekurangan
“ruang” untuk menyimpan informasi baru, berapa pun umur orang tersebut.
Durasi penyimpanan seumur hidup diartikan sebagai informasi yang sudah
masuk di dalam long-term memory tidak akan pernah hilang, meskipun bisa
saja terjadi informasi tersebut tidak berhasil diambil kembali (retrieval) karena beberapa alasan.

                                                                                                                    
C. Lupa dan Faktor-faktor yang Menyebabkannya.
Soal mengingat dan lupa biasanya juga ditunjukkan dengan satu pengertian saja, yaitu retensi, karena memang sebenarnya kedua hal tersebut hanyalah memandang hal yang satu dan sama dari segi yang berlainan. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal yang dilupakan adalah hal yang tidak diingat (tak dpat diingat kembali.
            Lupa (forgetting) adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau meproduksi kembali apa sebelumnya yang telah dipelajari. Secara sederhana, Gulo dan Reber mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, kelupaan bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
            Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tidak terbukti.
Faktor-faktor Penyebab Lupa.
  • Karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa;
  • Karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja maupun tidak;
  • Karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali;
  • Karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu;
  • Menurut law of disuse (Hilgard dan Bower), lupa dapat terjadi materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa;
  • Karena perubahan urat syaraf otak.


D. Kiat-kiat Mengurangi Lupa dalam Belajar.
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adaah dengan cara meningkatkan daya ingat akal kita. Banyak ragam yang dapat dicoba dalam meningkatkan daya ingatan, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), adalah sebagai berikut.
1. Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Maksudnya adalah melakukan pembelajaran atas respons di luar kebiasaan. Misalnya pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap P4 lebih kuat.
2. Extra Study Time (tambahan waktu belajar) adalah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktifitas belajar.
3. Mnemonic Device (muslihat memori) atau yang juga sering disebut mnemonic yang berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam sistem akal. Muslihat mnemonik ini banyak ragamnya, diantaranya adalah rima, singkatan, sistem kata pasak, metode losai, dan sistem kata kunci.
4. Pengelompokkan, maksudnya adalah menata ulang item-iten materi menjadi kelompok-kelompok kecil yanhg dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
5. Latihan terbagi, yaitu latihan terkumpul yang dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat.
  1. Pengaruh letak bersambung, yaitu dengan cara menyusun daftar kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan diakhiri dengan kata yang harus diingat serta diberi huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat.
         Ada salah satu teknik yang paling terkenal untuk peningkatan ingatan, disebut metode PQ4R, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar dan mengingat materi yang disajikan dalam suatu buku teks ( Thomas dan Robinson, 1972). Metode ini mengambil nama dari singkatan huruf  pertama keenam tahapannya :
1) Preview (penjajakan), untuk mendapatkan  tentang berbagai topik pokok dan bagiannya.
2) Questions (mengajukan pertanyaan-pertanyaan), membuat pertanyan untuk setiap bagian.
3) Read (membaca), membaca bagian itu dengan teliti untuk menjawab pertanyaan.
4) Reflect (merefleksikan), merefleksikan teks pada waktu membaca ,memikirkan, dan menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
5) Recite (menceritakan), mengulang setelah menyelesaikan satu bagian.
6) Review (mengulang), seteleh menyelesaikan satu bab penuh.
Ringkasnya metode ini bergantung pada tiga prinsip dasar untuk meningkatkan ingatan : mengorganisasi materi, menguraikan materi, dan melatih pengingatan kembali. Kebanyakan metode belajar yang dikemukakan oleh para pendidik dan para ahli lainnya berdasarkan pada prinsip yang sama.