FORMULA PENGUMPUL KEKAYAAN

Selasa, 12 Januari 2010

ANALISIS BEHAVIORISME TERHADAP LIMA PRINSIP METODE AUDIOLINGUAL

ANALISIS BEHAVIORISME TERHADAP LIMA PRINSIP METODE AUDIOLINGUAL

BAB I
PENDAHULUAN
Behaviorisme dalam psikologi merupakan suatu aliran empiris. Pandangan mereka tentang bahasa pun merupakan pandangan empiris. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “bahasa merupakan salah satu wujud tingkah laku manusia yang dinyatakan secara verbal atau dengan kata-kata”. Jadi, dengan kata lain bahasa merupakan wujud perilaku manusia yang dapat ditangkap oleh pancaindra.
Pandangan empiris berpendapat bahwa semua keterampilan manusia diperoleh dengan proses belajar. Dan manusia sejak lahir telah mengalami proses belajar. Ini mengisyratkan bahwa bahasa harus dipelajari. Kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar dan bukan diwariskan.
Sebuah metode yang muncul pada tahun 50-an dan 60-an yaitu metode audiolingual sebagai respon bagi dua hal yang penting pada saat itu, yaitu pertama, studi bahasa yang dilakukan oleh ahli jiwa dan ahli bahasa terhadap bahasa-bahasa lisan Hindia di wilayah Amerika Serikat. Kedua, perkembangan sarana komunikasi antarbangsa yang bisa mendekatkan jarak antarmereka dan adanya kebutuhan mempelajari bahasa asing tidak hanya digunakan untuk membaca tapi juga untuk komunikasi langsung antarmereka.
Makalah ini akan membahas dan menganalisis secara singkat sejarah dan prinsip-prinsip yang digunakan metode audiolingual dalam pembelajaran bahasa. Semoga bermanfaat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah munculnya metode audiolingual
Metode membaca yang lebih menekankan pada kemampuan membaca teks ternyata tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun empat puluhan. Dalam situasi perang dunia kedua, Amerika Serikat memerlukan orang-orang (tentara) yang lancar berbahasa asing untuk ditempatkan di berbagai negara. Untuk itu Departemen Pertahanan AS membetuk badan yang dinamakan Army Specialized Training Program (ASTP) dengan melibatkan 55 universitas
Program ini dimulai pada tahun 1943 dan bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing dengan pendekatan dan metode pelatihan yang baru. Pengajar bahasa asing model ASTP yang bersifat intensif dianggap berhasil. Oleh karena itu, sejumlah ahli linguistik yakin bahwa ASTP ini layak diterapkan secara umum di luar program ketentaraan. Model ASTP inilah yang merupakan cikal bakal dari metode audio-lingual, setelah dikembangkan dan diberi alasan metodologis oleh beberapa universitas terutama Universitas Michigan AS. Pada waktu yang sama di Inggris juga dikembangkan oral-approach yang mirip sekali dengan metode yang sedang berkembang di Amerika.
Metode audiolingual didasarkan atas teori linguistik struktural, yang dalam beberapa hal berbeda dengan teori tata bahasa tradisional. Jika tata bahasa tradisional menekankan kesemestaan tata bahasa, maka linguistik sturktural menekankan pada fakta bahwa semua bahasa di dunia ini berbeda. Teori tata bahsa tradisional bersifat preskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang digunakan oleh penutur asli dan bukan yang dikatakan oleh ahli bahasa. Teori tata bahasa tradisional mengkaji bahasa dari ragam formal (ragam sastra dan sejenisnya), sedangkan teori tata bahasa struktural mengkaji bahasa dari ragam informal yang digunakan oleh penutur asli dalam interaksi sehari-hari.
B.Prinsip-prinsip metode audiolingual
William G. Moulton dalam artikelnya yang berjudul “Linguistics dan Language Teaching in The United States 1940-1960” menyebutkan lima prinsip yang digunakan dalam metode audiolingual yaitu :
1.Bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan .
Prinsip ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari definisi bahasa sebagai arus ujaran manusia yang bermakna atau bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol yang bermakna. Setiap komunitas mempunyai bahasa walaupun mungkin mereka belum mengenal sistem aksara. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa yang utama adalah pembelajaran bahasa lisan, baru kemudian bahasa tulis. Sedangkan urutannya adalah mengajarkan mendengar, diikuti berbicara, baru kemudian membaca dan menulis.
Setiap ujaran bahasa yang terdiri dari bunyi dapat ditangkap oleh panca indera dan dianalisis. Oleh karena itu, satuan-satuan bahasa selalu didefinisikan dengan bunyi , misalnya, “fonem adalah satuan bunyi yang terkecil yang bersifat distingtif/membedakan makna” dan seterusnya.
Bagi para guru bahasa, pendirian dan prinsip kaum empiris dalam pembelajaran bahasa agak mencengangkan karena belajar bahasa adalah sekaligus belajar membaca dan menulis. Memang benar anak-anak sudah dapat berbicara tanpa mengenal aksara lebih dahulu. Akan tetapi, pernyataan dan prinsip ini tidak perlu merisaukan para guru bahasa. Pembelajaran bahasa pada awalnya adalah pembelajaran mendengar dan berbicara. Membaca dan menulis menjadi langkah kedua dalam pembelajaran bahasa.
2.Bahasa adalah seperangkat kebiasaan.
Kaum linguis deskriptif-struktural berpendapat bahwa bahasa adalah seperangkat kebiasaan yang diperoleh dari pengondisian. Dengan kata lain, kemahiran bahasa kita peroleh melalui habits formation atau pembentukan kebiasaan. Kebiasaan di sini dimaknai dalam pengertian yang sempit. L. Bloomfield melukiskan tentang pemerolehan bahasa bayi yang menurutnya melaui lima tahapan, yaitu pertama, seorang bayi mulai berceloteh karena berceloteh merupakan kebiasaan yang terwarisi. Ia memperoleh kebiasaan dengan mengulang-ulang apa yang didengarnya, misalnya ia memperoleh kemampuan untuk mengulang kata da-da-da daripada hanya mengucapkan da. Kedua, anak memperoleh kemampuan untuk meniru ujaran ibunya atau orang yang dekat dengannya. Ketiga, anak membentuk suatu kebiasaan. Kehadiran suatu benda seperti boneka misalnya, sudah mengondisikannya untuk mengujarkan sesuatu. Keempat, anak memperoleh kesempatan untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ada. Kelima, bahasa anak disempurnakan oleh hasil yang dia peroleh atau ganjaran yang diperolehnya.
Seorang anak atau seorang pembicara akan selalu sadar tentang apa yang dikatakannya, tetapu ia tidak sadar akan bagaimana ia mengatakan sesuatu, ia tidak menyadari mekanisme ujaran. Ia memperoleh satu kebiasaan. Ada adagium “kapan saja seseorang berbicara, maka ia melakukan peniruan dan penganalogian” terhadap bentuk-bentuk yang telah ia dengar dan baca. Adagium ini manjadi dasar pembelajaran bahasa dengan teknik peniruan dan pendarasan, yang dikenal dengan pattern drill atau tadribat dalam bahasa arab.
3.Ajarkanlah bahasa bukan tentang bahasa.
Pembelajaran bahasa model klasik biasanya dimulai dengan pengajaran tata bahasa. Pembelajaran seperti ini menghasilkan para siswa yang mampu menghafalkan kaidah-kaidah bahasa dan merumuskan konsep-konsep tentang bahasa Arab misalnya, tetapi mereka tidak mampu berbicara dan berkomunikasi secara wajar dengan bahsa Arab tersebut. Karena tujuan pembelajaran bahasa adalah agar siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya, maka lahirlah slogan atau semboyan di atas.
Pernyataan di atas memang wajar, karena seseorang mampu berbahasa dengan cara meniru dan membuat analogi berdasarkan pengalaman empiris. Seorang penutur Arab sangat mungkin tidak bisa menjelaskan secara detail tentang tata aturan bahasanya, tetapi dia mampu menggunakan bahasa Arab secara benar dan wajar. Dengan demikian, sangat wajar dalam pembelajaran bahasa Arab misalnya, perlu ditekankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan bukan pembelajaran tentang kaidah-kaidah bahasa secara berlebihan.
4.Bahasa adalah apa yang dituturkan oleh penutur asli bahasa tersebut bukan apa yang dipikirkan seseorang untuk dituturkan oleh siswa.
Pernyataan ini menyerang ketaatan yang berlebihan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan dan bertentangan dengan konsep kegramatikaan bahasa. Sebagai contoh, para guru bahasa Arab klasik adalah mereka yang sangat taat kepada qawa’id bahasa Arab. Mereka bersifat preskriptif. Sementara Bloomfield menyatakan bahwa dia kurang menerima anggapan bahwa secara formal bahasa yang diajarkan di sekolah adalah “lebih benar” daripada bahasa yang digunakan dalam komuniksai sehari-hari. Dari prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan empiris menganggap bahwa ucapan penutur asli bahasa Arab tidak pernah salah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahsa Arab diusahakan peniruan atau penyalinan ujaran penutur asli, tidak peduli apakah ujaran itu cocok dengan tata bahasa di sekoah atau tidak. Dikaitkan dengan ragam bahasa Arab yang terdiri dari bahasa Arab standar (fusha) dan bahasa Arab amiyah, maka pembelajaran bahasa Arab di sekolah juga perlu memperhatikan ragam bahasa Arab yang kedua.
5.Bahasa-bahasa itu berbeda.
Seperti diketahui bahwa linguistik deskriptif-struktural memperlakukan setiap bahasa secara otonom. Ini berarti analisis terhadap bahasa Arab harus dilakukan berdasarkan bahasa Arab itu sendiri dan tidak meniru tata bahasa lain. Dalam pembelajaran bahasa Arab seorang siswa harus melupakan bahasa yang telah dikuasainya. Materi kebahasaan harus disusun dengan lebih menekankan pada butir-butir bahasa yang diperkirakan akan menimbulkan interferensi dan transfer dari bahasa yang dikuasainya kepada bahasa yang sedang dipelajari. Latihan dalam bentuk drill perlu ditekankan pada butir-butir bahasa Arab yang kemungkinan menimbulkan kesalahan agar siswa membiasakan dengan pola dan struktur bahasa Arab.
Pandangan para empiris tentang pmbelajaran bahasa seperti di atas diungkapkan dengan slogan yang ekstrem oleh penganutnya. Pandangan yang ekstrem ini didasarkan pada pengalaman mereka dalam pendidikan bahasa di Eropa dan Amerika yang selalu mengutamakan bahasa Yunani dan Latin sebagai model bahasa dunia yang lengkap dan sempurna. Butir-butir bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Latin dan Yunani dianggap primitif.
Para pendidik bahasa Indonesia pun tidak luput dari model pengajaran bahasa yang berkembang di Eropa. Di Eropa, setiap sekolah bahasa harus mendapatkan pengajaran bahasa Latin di Yunani. Dengan model yang sama itu, di Indonesia khususnya di Fakultas sastra, model bahasa klasik yang dipilih adalah bahasa Sanskrit, Jawa Kuno dan Arab. Para penulis tata bahasa Indonesia pun selalu mengikuti model bahasa Latin dan Yunani secara tidak langsung, yakni melaui bahasa Belanda kemudian bahasa Inggris.


BAB III
KESIMPULAN
Metode membaca yang lebih menekankan pada kemampuan membaca teks ternyata tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun empat puluhan. Dalam situasi perang dunia kedua, Amerika Serikat memerlukan orang-orang (tentara) yang lancar berbahasa asing untuk ditempatkan di berbagai negara. Untuk itu Departemen Pertahanan AS membetuk badan yang dinamakan Army Specialized Training Program (ASTP) dengan melibatkan 55 universitas.
Program ini dimulai pada tahun 1943 dan bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing dengan pendekatan dan metode pelatihan yang baru. Metode audiolingual didasarkan atas teori linguistik struktural, yang dalam beberapa hal berbeda dengan teori tata bahasa tradisional.
Ada lima prinsip yang digunakan metode audiolingual dalam pembelajaran bahasa. Pertama, bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan. Kedua, bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Ketiga, ajarkanlah bahasa bukan tentang bahasa. Keempat, bahasa adalah apa yang dituturkan oleh penutur asli bahasa tersebut bukan apa yang dipikirkan seseorang untuk dituturkan oleh siswa. Kelima, bahasa-bahasa itu berbeda.



DAFTAR PUSTAKA
Asyrofi, Syamsuddin, dkk. 2006. Metode Pembelajaran Bahasa Arab. Pokja Akademik UIN SUKA : Yogyakarta.
Parera, Daniel Jos. 1997. Linguistik Edukasional. Erlangga : Jakarta.
Hamid, M. Abdul, dkk. 2008. Pembelajaran Bahasa Arab. UIN-MALANG Press : Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar