FORMULA PENGUMPUL KEKAYAAN

Minggu, 03 Januari 2010

ASPEK MORFOLOGI DALAM LINGUSTIK

A. Pengertian Morfologi.
Salah satu bidang yang dibahas dalam bahasa adalah morfologi. Morfologi ialah bidang yang mengkaji struktur, pembentukan kata, dan golongan kata. Morfologi merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata dalam berbagai penggunaan dan konstruksi. Perubahan-perubahan bentuk kata menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Perbedaan golongan dan arti kata tidak lain disebabkan oleh perubahan bentuk kata. Karena itu, morfologi di samping bidang utamanya mempelajari seluk-beluk kata, juga mempelajari kemungkinan adanya perubahan golongan dan arti kata yang timbul sebagai akibat perubahan bentuk kata. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun semantik.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang morfologi, di sini akan dijelasan tentang istilah morfem, morf, dan alomorf.
Menurut Lehmann, morfem adalah elemen kata terkecil yang memiliki arti tertentu. Sedangkan menurut Gleason, morfem adalah unit terkecil yang secara gramatikal bermakna. Menurut Wardhaugh, morfem adalah bagian bahasa bermakna yang terkecil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa morfem adalah unit bahasa terkecil yang memiliki makna. Atau dengan kata lain, morfem adalah unit terkecil dalam bahasa yang berfungsi dalam gramatis atau yang menjalankan tugas.
Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, dua, atau lebih dari itu. Misalnya, adalah morfem meN- bisa menjadi melihat, merasa, membawa, mendengar, menyanyi, dan menggali yang menunjukkan bahwa morfem meN- mempunyai beberapa alomorf. Perbedaannya dengan morf adalah kalau morf merupakan nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf untuk bentuk yang sudah diketahui statusnya.

Klasifikasi Morfem.
Morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas secara singkat.
a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat.
Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam penuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam penuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Begitu juga dengan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.
b. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi.
Perbedaan antara morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan suatu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi karena disisipi morfem lain. Semua morfem dasar bebas seperti {meja}, {kursi}, {kecil}, dan {laut} termasuk morfem utuh. Begitu juga dengan sebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, {henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yaitu {ke-/-an}.
c. Morfem Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan antara morfem segmental dan suprasegmental terletak pada jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber-}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara di Benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan penunjuk kata (tense) yang berupa nada.
d. Morfem Beralomorf Zero
Morfem beralomorf zero atau nol adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa "kekosongan".
Misal :
Bentuk tunggal:
1. I have a book
2. I have a sheep
Bentuk jamak:
1. I have two books
2. I have two sheep
Kita lihat, bentuk tunggal untuk book adalah book dan bentuk jamaknya adalah books; bentuk tunggal untuk sheep adalah sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak books terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan {-s}, maka dapat dipastikan bentuk jamak unutk sheep adalah morfem {sheep} dan morfem {0}

e. Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem yang bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda}, {pergi}, {lari}, dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal. Sedangkan morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.

B. Hakikat, Kalsifikasi, dan Pembentukan Kata.
1. Hakikat Kata
Menurut para tata bahasawan tradisional, kata adalah satuan tata bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunya satu arti. Dalam kajian bahasa Arab malah dikatakan, “kata-kata dalam bahasa Arab biasanya terdiri dari tiga huruf”.
Para tata bahasawan struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata sebagia satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem. Batasan yang dibuat Bloomnfield sendiri, yaitu kata adalah satuan bebas terkecil.
Batasan umum yang kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang, kedalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tida dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain.kedua, setipa kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat didisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
2. Klasifikasi Kata.
Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan kata; dalam bahasa Inggris dengan istilah parts of speech. Klasifikasi kata ini dalam sejarahg linguistik menjasi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan. Sejak zaman Aristoteles hingga zaman sekarang persoalannya tidak perna tertuntaskan. Hal itu terjadi karena, pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing;, dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lain.
Para tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan …. Jadi, kata-kata seperti buku, pensil, dan kakek adalah termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata yng dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi tidak …. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Lalu, yang disebut dengan ajektifa adalh kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat …. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal, cabtik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang kata sangat itu.
Ada juga kelompok linguistik yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagi patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum fungsi subjek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan oleh adverbia. Oleh karena itu, semua kata yang menduduki fungsi subyek atau obyek dimasukkan ke dalam golongan nomina; yang menduduki fungsi predikat dimasukkan ke dalam golongan verba atau ajektifa; dan yang menduduki fungsii keterangan dimasukkan ke dalam golongan adverbia.
Klasifikasi kata sangat diperlukan karena besar manfaatnya, baik secara teoritis dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas sebuah kata, kita dapat memprediksikan penggunaan atau pendistribusian kata itu dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri yang sama yang dapat menduduki fungsi dalam kalimat.
3. Pembentukan Kata
Untuk dapat digunakan dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melaui proses afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Pembentukan ini mempunyai dua sifat, yaitu membentuk kata yang bersifat inflektif dan yang bersifat derivatif.
a. Inflektif
Kata-kata dalan bahasa-bahasa berfleksi, seperti bahasa Arab, bahasa Latin, dan bahasa Sansekerta, unutk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu. Alat yang dapat digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.
Pembentukan kata secara inflektif tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Perubahan atau penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan perubahan atau penyesuaian pada nomina atau ajektifa disebut deklinasi.
b. Derivatif
Pembentukan kata secara derivatif membentuk kata baru, kata yang identitasnya leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya. Umpamanya dari bahasa Inggris sing ‘menyanyi’ terbentuk kata singer ‘penyanyi’. Jelas antara kata sing dan singer identitas leksikalnya, sebab selain maknanya berbeda kelasnya juga tidak sama; sing berkelas verba, sedangkan singer berkelas berkelas nomina.
Perbedaan identitas leksikal terutama berkenaan dengan makna, sebab maskipun kelasnya, seperti kata makanan dan pemakan, yang sama-sama berkelas nomina, tetapi maknanya tidak sama.

C. Proses-proses Morfolologi.
Kata terbentuk dari morfem atau morfem-morfem. Terbentuknya kata dari morfem-morfem itu melalui suatu proses yang disebut proses morfologik atau morfemik. Jadi, proses morfologi adalah proses terbentuknya kata dari morfem-morfem. Pada umumnya dikenal delapan proses morfologik, yaitu:
1. derivasi zero : dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan apapun. Umpamanya kata drink dalam bahasa Inggris adalah nomina seperti dalam have a drink!; tetapi dapat diubah menjadi sebuah verba, drink, tanpa perubahan apa-apa, seperti dalam kaimat I want to drink.
2. afiksasi : dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks. Dengan kata lain, afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula derivatif. Dilihat pada posisi melekatnya pada bentuk dasar biasanya dibedakan adanya prefiks, infiks, sufiks, konfiks, interfiks, dan transfiks. Di samping itu masih ada istilah ambifiks dan sirkumfiks.
3. reduplikasi : dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks dengan beberapa macam proses pengulangan terhadap bentuk dasar , baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan buyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh, seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi senagian, seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Selain itu, ada juga yang dinamakan dengan reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.
4. komposisi : dalam proses ini dua leksem atau lebih berpadu dan outputnya adalah paduan leksem atau kompositum dalam tingkat morfologi atau kata majemuk dalam tingkat sintaksis. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit.
5. perubahan vokal : dalam proses ini terjadi perubahan vokal-vokal pada kata, seperti kata dalam bahasa Inggris foot---feet dan mouse---mice.
6. suplisi : dalam proses ini terdapat perubahan ekstrem yang terjadi pada kata, seperti kata dalam bahasa Inggris go---went dan be---am atau was.
7. pengurangan atau substraksi : dalam proses ini terjadi pengurangan pada kata, seperti pada kata dalam bahasa Prancis blanc sebagi kata ajektif maskulin yang berasal dari ajektif feminin blanch.
8. klitisasi : dalam proses ini terdapat pembubuhan klitik pada bentuk dasar, seperti dalam bahasa Toraja Saqdan di samping kata aku ’saya’ terdapat akumo ’sayalah’.

D. Morfofonemik.
Morfofonemik atau morfofonologi merupakan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya proses morfologik yaitu perubahan fonem yang disebabkan oleh pengabungan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya, dan proses perubahannya disebut proses morfofonemik atau proses morfofonologik. Misalnya, penggabungan morfem meN- dengan morfem angkut menjadi mengangkut menmbulkan perubahan fonem /N/ menjadi /ng/, penggabungan morfem meN- dengan pukul menjadi memukul menimbulkan perubahan fonem /N/ menjadi /m/, dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan meN- menjadi meng- dan mem- bukannya ditentukan oleh morfem yang mengikutinya atau morfem yang menjadi bentuk dasarnya, melainkan ditentukan oleh fonem awal morfem itu. Dengan kata lain, perubahan morfem meN- itu ditentukan oleh syarat-syarat fonologik.
Ada juga perubahan fonem yang tidak ditentukan oleh syarat-syarat fonologik, melainkan ditentukan oleh syarat-syarat gramatik. Misalnya penggabungan morfem ber- dengan morfem ajar menjadi belajar mengakibatkan perubahan fonem /r/ pada morfem ber- menjadi berubah menjadi fonem /l/.
Perubahan fonem dalam proses morfofonemik ini dapat berwujud:
(1) Pemunculan fonem. Hal ini dapat dilihat dalam proses pengimbuhan prefi me- dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca.
(2) Pelepasan fonem. Hal ini dapat dilihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada kata sejarah dimana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang. Sejarah + wan--- sejarawan.
(3) Peluluhan fonem. Hal ini dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/ dari prefiks tersebut. Me- + sikat ---menyikat.
(4) Perubahan fonem. Hal ini dapa kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/. ber + ajar---belajar
(5) Pergesrean fonem. Hal ini dapat kita lihat dalam pengimbuhan sufiks /an/ pada kata jawab di mana fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wad/ pindah ke silabel /ban/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar